Wednesday, March 25, 2015

BAB II dan III "Sistem Perekonomian Indonesia"




  1. Sejarah PraKolonialisme

Sejarah Prakolonial Indonesia pada masa sebelum kekuatan Eropa Barat mampu menguasai daratan dan perairan Asia Tenggara, belum ada Indonesia. Nusantara yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai kerajaan dan kekaisaran. Nusantara yang luas tersebut kurang memiliki rasa persatuan sosial dan politik yang dimiliki Indonesia saat ini. Meskipun demikian, jaringan perdagangan terpadu telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan sejarah Asia. Terhubung ke jaringan perdagangan merupakan aset penting bagi sebuah kerajaan untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan untuk menjadi kekuatan besar. Tapi semakin menjadi global jaringan perdagangan ini di nusantara, semakin banyak pengaruh asing berhasil masuk; suatu perkembangan yang akhirnya akan mengarah pada kondisi penjajahan.

            Karena sebagian besar bagian timur Nusantara memiliki sedikit kegiatan ekonomi sepanjang sejarah (terletak jauh dari jalur perdagangan utama), hal itu menyebabkan sedikitnya kegiatan politik; suatu situasi yang berlanjut hingga hari ini. Hubungan perdagangan antara India dan Nusantara masa kini diketahui telah terbentuk berabad-abad sebelum prasasti Kutai. Selat Malaka, jalur laut yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, telah menjadi jalur pelayaran utama untuk perdagangan yang pengantarannya melalui laut antara China, India dan Timur Tengah sejak ingatan manusia (since human memory).

            Sebagian besar garis pantai Sumatera terletak di sebelah jalur laut ini, yang menyebabkan pedagang antara India dan China berhenti di sini atau di sisi lain dari Selat (sekarang Malaysia) untuk menunggu angin musim yang tepat yang akan membawa mereka lebih jauh. Kerajaan di Nusantara yang meniru konsep India ditemukan di pulau Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Bali. Karena posisi strategis dari garis pantai Sumatera dan Malaysia yang dekat dengan Selat Malaka, tidaklah mengherankan bahwa kita menemukan Negara pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah Indonesia di daerah pesisir Sumatra, dan membentang di wilayah geografis yang luas di sekitar selat. Kerajaan ini dinamakan Sriwijaya dan menguasai jalur perdagangan yang menghubungkan Samudra Hindia, Laut Cina Selatan dan Kepulauan Rempah Maluku antara abad ke-13 dan abad ke-17. Sriwijaya juga dikenang sebagai Pusat di Asia Tenggara untuk studi agama Budha dengan penekanan utama pada studi bahasa Sansekerta.

Dari sumber-sumber Cina diketahui bahwa para biksu Budha Cina tinggal di Sriwijaya selama lebih dari satu dekade untuk melanjutkan studi mereka. Sisa-sisa candi Hindu dan Buddha yang berasal dari antara abad ke-8 dan ke-10 menunjukkan pemerintahan dua dinasti di Jawa Tengah. Keruntuhan perlahan-lahan Sriwijaya dan munculnya kerajaan besar baru di Jawa ini berarti bahwa kekuasaan politik secara bertahap berpaling dari Sumatera menuju Jawa. Namun pada abad ke-10 kehidupan penduduk di Jawa Tengah tiba-tiba tidak terekam karena kurangnya sumber. Diduga letusan gunung berapi besar menggeser kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tempat berkembangnya sejumlah kerajaan baru. Dua di antaranya yang patut mendapat perhatian khusus karena warisan mereka, yakni Kediri (sekitar 1042-1222) untuk warisan prasasti dan warisan sastranya, dan penggantinya Singasari (antara 1222 dan 1292) untuk memperkenalkan babak baru dalam sejarah Indonesia, yaitu sinkretisme (penyatuan aliran) agama Hindu dan Budha. Babak baru ini mencapai kejayaannya di kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1293 sampai sekitar 1500), yang mungkin merupakan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara yang memiliki wilayah geografis yang menyerupai perbatasan Indonesia saat ini. Majapahit dengan perkembangan seni dan sastranya yang luar biasa masih merupakan konsep penting dan menjadi penyebab kebanggaan nasional bagi masyarakat Indonesia saat ini karena dianggap sebagai dasar negara modern Indonesia. Pergerakan  kaum  nasionalis di abad ke-20 menggunakan konsep ini untuk menjustifikasi kemerdekaan dan keabsahan batas-batas wilayah. Motto Nasional Indonesia Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti ‘Persatuan dalam Keberagaman', berasal dari sebuah puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa pemerintahan Majapahit. Meskipun merupakan kerajaan Hindu-Buddha,Islam berpengaruh bagi kalangan elit penguasa Majapahit. Kemungkinan Islam sudah ada di Asia Tenggara maritim dari awal era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Nusantara, membuat permukiman di daerah pesisir, menikah dengan wanita setempat dan dihormati atas kekayaan mereka yang diperoleh melalui perdagangan..

Beberapa penguasa lokal kemungkinan tertarik dengan agama baru ini dan dianggapnya menguntungkan untuk menganut keyakinan yang sama seperti sebagian besar pedagang. Pendirian kerajaanIslammerupakan langkah logis berikutnya. Diduga rakyat dari raja-raja ini mengikutinya dengan masuk Islam. Prasasti pada batu nisan menunjukkan bahwa pada awal abad ke-13 terdapat sebuah kerajaan Islam di bagian utara Sumatera disebut Pasai atau Samudera. Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Dari Sumatra Utara, pengaruh Islam kemudian menyebar ke arah timur melalui perdagangan. Di pesisir pantai utara Jawa berbagai kota Islam muncul selama abad ke-14. Meskipun demikian, tidaklah mungkin kalau beberapa bangsawan Jawa dari Majapahit di Jawa Timur memeluk agama Islam karena perdagangan. Mereka mungkin merasa derajatnya jauh lebih tinggi dibanding dengan kelas sosial pedagang. Kemungkinan besar bangsawan Jawa ini dipengaruhi oleh ulama Sufi dan orang-orang suci atau wali yang mengaku memiliki kekuatan supranatural (karomah). Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 pengaruh Majapahit di Nusantara mulai menurun karena konflik suksesi dan meningkatnya kekuasaan kerajaan Islam. Sebuah negara perdagangan baru, Malaka, merupakan salah satu kekuatan baru ini. Kekuatan ini bangkit di daerah pesisir (saat ini Malaysia) dan terletak di bagian tersempit dari Selat Malaka. Negara ini menjadi pelabuhan sangat sukses dengan fasilitas menguntungkan dalam jaringan perdagangan luas yang membentang dari Cina dan Maluku di ujung timur ke Afrika danMediterania di ujung barat. Meskipun pada awalnya Malaka adalah negara Hindu-Buddha, namun berubah dengan cepat menjadi kesultanan Muslim (mungkin karena alasan terkait perdagangan).

Hubungan historis antara perdagangan dan Islam juga terlihat dalam perkembangan di pulau Ternate (saat ini propinsi Maluku di kawasan timur Indonesia). Ternate (mirip dengan Tidore yang dekat dengannya) menjadi daerah kaya karena produksi cengkeh. Dari Jawa - dan melalui perdagangan - Islam menyebar ke daerah ini, mengakibatkan berdirinya kesultanan di akhirabad ke-15. Kesultanan ini berhasil menguasai sebagian besar Indonesia Timur namun posisinya dirusak oleh Belanda pada abad ke-17.

Cerita tentang kekayaan Malaka telah mencapai Eropa dan menggoda bangsa Portugis, yang memiliki teknologi navigasi maju, untuk berlayar ke bagian dunia ini agar bisa memiliki pengaruh lebih besar pada jaringan perdagangan rempah-rempah dunia (dan akan membuat penghasilan mereka lebih tinggi). Pada tahun 1511 Malaka ditaklukkan oleh armada Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Meskipun demikian, penaklukan ini memiliki konsekuensi yang luasbagi jalur perdagangan. Malaka, yang dulu merupakan pelabuhan kaya, dengan cepat hancur di bawah kekuasaan Portugis yang tidak pernah berhasil memonopoli perdagangan Asia. Setelah penaklukan, para pedagang segera mulai menghindari Malaka dan pergi membawa bisnis mereka ke beberapa pelabuhan lain. Johor (Malaysia), Aceh (Sumatra) dan Banten (Jawa) adalah negara yang mulai mendominasi perdaganganrempah-rempah karena pergeseran jalur-jalur perdagangan. Belanda juga tertarik untuk membangun cengkeraman yang kuat pada jaringan perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Ekspedisi pertama mereka mencapai Banten pada tahun 1596 tapi disertai dengan permusuhan antara Belanda dan penduduk pribumi. Setelah tiba kembali di Belanda, ekspedisi ini masih menunjukkan keuntungan besar yang memperlihatkan bahwa ekspedisi ke kawasan Asia Tenggara sebenarnya menghasilkan banyak uang. Namun saking banyaknya ekspedisi yang diadakan oleh beberapa perusahaan Belanda (ke Nusantara), menimbulkan dampak negative pada keuntungan mereka. Persaingan memperebutkan rempah-rempah mendongkrak kenaikan harganya di Nusantara sementara peningkatan pasokan rempah-rempah menyebabkan penurunan harga di Eropa.


  1. Sistem Monopoli VOC

            Dengan berbagai cara VOC berusaha menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia serta pelabuhan-pelabuhan penting. Kecuali itu, juga berusaha memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertama-tama berusaha menguasai salah satu pelabuhan penting, yang akan dijadikan pusat VOC. Untuk keperluan tersebut ia mengincar kota Jayakarta. Ketika itu Jayakarta di bawah kekuasaanKerajaan Islam Banten. Sultan Banten mengangkat Pangeran Wijayakrama sebagai adipati di Jayakarta.Mula-mula VOC mendapat izin dari Pangeran Wijayakrama untuk mendirikan kantor dagang di Jayakarta. Tetapi ketika gubernur jenderal dijabat oleh J.P. Coen,Pangeran Wijayakrama diserangnya. Kota Jayakarta direbut dan dibakar. Kemudian di atas reruntuhan kota Jayakarta, J.P. Coen membangun sebuah kota baru.Kota baru itu diberinya nama Batavia. Peristiwa tersebut pada tahun 1619. Kota Batavia itulah yang kemudian menjadi pusat VOC.

Setelah memiliki sebuah kota sebagai pusatnya, maka kedudukan VOC makin kuat. Usaha untuk menguasai kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan penting ditingkatkan. Cara melakukannya dengan politik dividi et impera atau politik mengadu domba. Mengadu dombakan sesama bangsa Indonesia atau antara satu kerajaan dengan kerajaan lain. Tujuannya agar kerajaan-kerajaan di Indonesia menjadi lemah, sehingga mudah dikuasainya. VOC juga seringikut campur tangan dalam urusan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia.Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, ia memaksakan monopoli, terutama di Maluku.

Dalam usahanya melaksanakan monopoli, VOC menetapkan beberapa peraturan, yaitu sebagai berikut :
1)       Rakyat Maluku dilarang menjual rempah-rempah selain kepada VOC.
2)       Jumlah tanaman rempah-rempah ditentukan oleh VOC.
3)       Tempat menanam rempah-rempah juga ditentukan oleh VOC.

Agar pelaksanaan monopoli tersebut benar-benar ditaati oleh rakyat, VOC mengadakan Pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi ialah patroli dengan perahu kora-kora, yang dilengkapi dengan senjata untuk mengawasi pelaksanaan monopoli di Maluku. Bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut di atas, maka pelanggarnya dijatuhi hukuman. Hukuman terhadap para pelanggar peraturan monopoli disebutekstirpasi. Hukuman itu berupa pembinasaan tanaman rempah-rempah milik petani yang melanggar monopoli, dan pemiliknya disiksa atau bisa-bisa dibunuh.Bukan main kejamnya tindakan VOC waktu itu. Akibatnya penderitaan rakyat memuncak. Puluhan ribu batang tanaman pala dan cengkih dibinasakan. Ribuan rakyat disiksa, dibunuh atau dijadikan budak. Ribuan pula rakyat yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya, karena ngeri melihat kekejaman Belanda.Tidak sedikit yang meninggal di hutan atau gunung karena kelaparan. Tanah milik rakyat yang ditinggalkan, oleh VOC dibagi-bagikan kepada pegawainya. Karena kekejaman tersebut maka timbulah perlawanan di berbagai daerah.
           
  1. Sistem Tanam Paksa

            Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa.

            Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut:
1)       Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2)       Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3)       Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1)       Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2)       Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3)       Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4)       Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5)       Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6)       Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7)       Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepala-kepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1)       Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2)       Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3)       Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4)       Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5)       Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah.
6)       Kelebihan hasil yang seharusnyadikembalikan kepada petani, ternyata tidak dikembalikan.d.Akibat Tanam PaksaPelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin.

Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1)       Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
  1. Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
  2. Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya,membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
  3. Akibat bermacam-macam bebanmenimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  4. Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
  5. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2)       Bagi Belanda.Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
  1. Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
  2. Hutang-hutang Belanda terlunasi.
  3. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
  4. Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
  5. Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
  6. Perdagangan berkembang pesat.

Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1)       Golongan PengusahaGolongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2)       Baron Van HoevelIa adalah seorang missionaris yangpernah tinggal di Indonesia (1847).Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen,ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3)       Eduard Douwes DekkerIa adalah seorang pejabat Belandayang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayumanis dihapuskan pada tahun 1865,tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.f. Sistem Usaha SwastaSesudah tahun 1850, kaum liberal memperoleh kemengangan politik di Negeri Belanda.

Mereka juga ingin menerapkan asas-asas liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah semestinya tidak ikut campur tangan dalam masalah ekonomi; tugas ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta; agar kaum swasta dapat menjalankan tugasnya maka harus diberi kebebasan berusaha. Sesuai dengan tuntutan kaum liberal maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha di Indonesia,terutama perkebunan-perkebunan di Jawa dan di luar Jawa. Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Itu sebabnya zaman itu sering disebut zaman Liberal. Selama masa Liberal, kaum swasta Barat aktif membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur. Pembukaan perkebunan besar itu dapat dilakukan dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870. Adapun tujuannya ialah sebagai berikut.
1)    Untuk melindungi hak milik petani-petani pribumi atas tanahnya, dari penguasaan orang-orang asing.
2)    Peluang kepada para pengusaha asing untuk dapat menyewa tanah dari rakyat Indonsia. Dengan demikian, para pengusaha hanya dapat diperbolehkan menyewa tanah-tanah petani dalam jangka waktu tertentu dan tidak boleh membelinyaDalam Undang-Undang Agraria juga telah disebutkan bahwa tanah yang boleh disewa digolongkan menjadi dua macam:
a.    Tanah milik negara, yaitu tanah-tanah yang tidak secara langsung menjadi milik penduduk pribumi ( di luar wilayah desa). Tanah ini dapat disewa selama 75 tahun.
b.    Tanah milik penduduk pribumi, misalnya sawah, ladang, dan yang sejenis yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. Tanah ini dapat disewa dalam jangka waktu 5 tahun atau sampai dengan 30 tahun. Harapan kaum liberal untuk membuka tanah jajahan bagi perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata dapat tercapai.

 Perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya diusahakan secara luas dan meningkat secara cepat. Untuk memperlancar perkembangan produksi tanaman ekspor maka pemerintah membangun waduk-waduk dan saluran-saluran irigasi. Selain irigasi juga dibangun jalan-jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang kemudian diteruskan ke luar. Selama zaman Liberal (1870–1900), usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan mendatangkan keuntungan yang besar bagi pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya di Jawa telah membawa kemerosotan kehidupan dan kemunduran tingkat kesejahteraan.

Hal ini sangat terasa sejak adanya krisis perkebunan tahun 1885 yang mengakibatkan uang sewa tanah dan upah pekerja di pabrik serta perkebunan menurun.Pada akhir abad ke-19, muncullah kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda akibat praktik liberalisme yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia. Para pengkritik menganjurkan untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. Van Deventer yang menuliskan buah pikirannya dalam majalah De Gids (perinstis/pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang Budi) sehingga dikenal dengan nama politik etis atau politik balas budi. Gagasan Van Deventer  terkenal  dengan nama Trilogi Van Deventer yang isinya sebagai berikut.
1)         irigasi atau pengairan (memperbaiki pengairan)
2)         emigrasi atau pemindahan penduduk atau transmigrasi;
3)                                 edukasi atau pendidikan (memajukan pendidikan).

  1. Era Pendudukan Jepang di Indonesia

Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. 
 Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang. Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapalperang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari.
 Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang. Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang sertamendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
16 Oktober 1942 tentara ke-16 Jepang mengirimkan pasukan-pasukan pengawal ke Lombok, Sumba dan Timor. Pada mulanya, propaganda Jepang kedengaran seperti perbaikan dibandingkan dengan pemerintahan Belanda. Setelah itu, pasukan-pasukan Jepang mulai mencuri makanan dan menangkapi orang untuk dijadikan pekerja paksa, sehngga pandangan bangsa Indonesia terhadap mereka mulai berbalik. Militer Jepang membuat tiga kesalahan besar terhadap bangsa Indonesia:
1)         Kerja paksa: banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang.
2)     Pengambilan paksa: tentara-tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan kelaparan dan penderitaan semasa perang.
3)     Perbudakan paksa terhadap perempuan: banyak perempuan Indonesia yang dijadikan"wanita penghibur " bagi tentara-tentara Jepang.

Selain itu, Jepang menahan banyak warga sipil Belanda di kamp-kamp tahanan dalam kondisi-kondisi yang sangat buruk, dan memperlakukan tahanan perang militer di Indonesia dalam keadaan yang buruk pula.Namun, kejahatan-kejahatan perang di -- yang sangat serius -- pada kenyataannya tidak seburuk dengan apa yang dilakukan di Tiongkok atau Korea pada masa yang sama. Sejumlah komandan, seperti misalnya Jen. Imamura di Jawa, secara terbuka dikritik di koran-koran Jepang karena terlalu "lunak". Bahkan ada sejumlah perwira Jepang yang bersimpati dengan gagasan kemerdekaan Indonesia, dan yang bahkan memberikan dukungan mereka kepada tokoh-tokoh dan organisasi politik Indonesia, hingga kepada Soekarno sendiri.

  1. Cita-cita Perekonomian Indonesia

Perekonomian global sedang anjlok. Namun, pada saat bersamaan, perekonomian Indonesia justru tumbuh. Memasuki tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi 6,5 persen. Lalu, juga pada tahun  2013 mendatang, PDB Indonesia diperkirakan 1 Triliun USD.Gara-gara angka-angka di atas, banyak orang terkesima dengan performa ekonomi Indonesia. Banyak yang mengira, dengan pertumbuhan ekonomi sepesat itu, bangsa Indonesia sudah sejahtera. Lembaga rentenir Internasional, IMF (Dana Moneter Internasional), turut terkesima dan memuja-muja pertumbuhan itu.Namun, fakta lain juga sangat mencengankan. Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi, meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tingkat kesenjangan ekonomi pada 2011 menjadi 0,41. Padahal, pada tahun 2005, gini rasio Indonesia masih 0,33. Data lain juga menunjukkan, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia mencapai Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) atau setara dengan 10,33% PDB.
Konon, nilai kekayaan dari 40 ribu orang itu setara dengan kekayaan 60% penduduk atau 140juta orang. Data lain menyebutkan, 50 persen kekayaan ekonomi Indonesia hanyadikuasai oleh 50 orang.Ringkas cerita, pertumbuhan ekonomi yang spektakuler itu tidak mencerminkankesejahteraan rakyat. Yang terjadi, sebagian besar aset dan pendapat ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Sementara mayoritas rakyat tidak punya aset dan akses terhadap sumber daya ekonomi. Akhirnya, terjadilah fenomena: 1% warga negara makin makmur, sementara 99% warga negara hidup pas-pasan.Akhirnya, kita patut bertanya, apakah pembangunan ekonomi semacam itu yang menjadi cita-cita kita berbangsa? Silahkan memeriksa cita-cita perekonomian kita ketika para pendiri bangsa sedang merancang berdirinya negara Republik Indonesia ini. Bung Hatta pernah berkata, “dalam suatu Indonesia Merdeka yang dituju, yang alamnya kaya dan tanahnya subur, semestinya tidak ada kemiskinan. Bagi Bung Hatta, Indonesia Merdeka tak ada gunanya jika mayoritas rakyatnya tetap hidup melarat. “Kemerdekaan nasional tidak ada artinya, apabila pemerintahannya hanya duduk sebagaibiduandadari kapital asing,” kata Bung Hatta. (Pidato Bung Hatta di New York, AS, tahun 1960)Karena itu, para pendiri bangsa, termasukBung Karno dan Bung Hatta, kemudian merumuskan apa yang disebut “Cita-Cita Perekonomian”.
 Ada dua garis besar cita-cita perekonomian kita. Pertama, melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial dan feodalistik. Kedua, memperjuangkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.Artinya, dengan penjelasan di atas, berarti cita-cita perekonomian kita tidak menghendaki ketimpangan. Para pendiri bangsa kita tidak menginginkan penumpukan kemakmuran di tangan segelintir orang tetapi pemelaratan mayoritas rakyat. Tegasnya, cita-cita perekonomian kita menghendaki kemakmuran seluruh rakyat.Supaya cita-cita perekonomian itu tetap menjiwai proses penyelenggaran negara, maka para pendiri bangsa sepakat memahatkannya dalam buku Konstitusi Negara kita: Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 33 UUD 1945 merupakan sendi utama bagi pelaksanaan politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia.Dalam pasal 33 UUD 1945, ada empat kunci perekonomian untuk memastikan kemakmuran bersama itu bisa tercapai. Pertama, adanya keharusan bagi peran negara yang bersifat aktif dan efektif. Kedua, adanya keharusan penyusunan rencana ekonomi (ekonomi terencana). Ketiga, adanya penegasan soal prinsip demokrasi ekonomi, yakni pengakuan terhadap sistem ekonomi sebagai usaha bersama (kolektivisme). Dan keempat, adanya penegasan bahwa muara dari semua aktivitas ekonomi, termasuk pelibatan sektor swasta, haruslah pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Sayang, sejak orde baru hingga sekarang ini (dengan pengecualian di era Gus Dur), proses penyelenggaran negara sangat jauh politik perekonomianalapasal 33 UUD 1945. Pada masa orde baru, sistem perekonomian kebanyakan didikte oleh kapital asing melalui kelompok ekonom yang dijuluki “Mafia Barkeley”.
Lalu, padamasa pasca reformasi ini, sistem perekonomian kebanyakan didikte secara langsung oleh lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Akibatnya, cita-cita perekonomian sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan pun kandas. Bukannya melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, tetapi malah mengekal-kannya, yang ditandai oleh menguatnya dominasi kapital asing, politik upah murah,ketergantungan pada impor, dan kecanduan mengekspor bahan mentah ke negeri-negeri kapitalis maju.Ketimpangan ekonomi kian menganga. Kemiskinan dan pengangguran terus melonjak naik. Mayoritas rakyat (75%) bekerja di sektor informal, tanpa perlindungan hukum dan jaminan sosial. Sementara puluhan juta lainnya menjadi “kuli” di negara-negara lain.

  1. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi

1)                     Pemerintahan Orde Lama
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak  tokok-tokoh negarayang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi negara Republik Indonesia yang memburuk. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
  1. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uangsecara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan mata uang pendudukan Jepang.
  2. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
  3. Kas negara kosong.
  4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi,antara lain:
  1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman denganpersetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
  2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontakdengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
  3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
  4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
  5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).-  Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.

 Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a.    Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk  mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b.    Program Benteng (Kabinet Natsir)
c.    Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d.    Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryoe) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.

Akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.

2)                 Pemerintahan Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomiIndonesiaberkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela dinegara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Orde Baru, Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.·Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

 Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur Administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkanAspirasirakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.·

Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila.

Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun.

 Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahunpertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hariyang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali. Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar.

Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehinggaketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh.

Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.

3)                 Pemerintahan Reformasi

Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
 Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlahaktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dandipecat karena terlibat penculikan, kini telahkembali duduk dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a.    masa depan Reformasi;
b.    masa depan ABRI;
c.    masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.    masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya;
e.    masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.

Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a.    Kebijakan dalam bidang politik. Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tigaundang-undang tersebut
1.         UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
2.         UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3.         UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b.    Kebijakan dalam bidang ekonomi. Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c.    Kebebasan menyampaikan pendapat dan persKebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secaraterbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan caramenyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
d.         Pelaksanaan PemiluPada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

1 comment: