Mariologi
Mariologi dalam Gereja Katolik Roma adalah sebuah bagian teologi yang
berhubungan dengan Maria, ibu Yesus. Maria dalam Gereja Katolik Roma
dijuluki sebagai Sang Perawan Suci dan Ibu Tuhan sehingga ia disebut memiliki
sebuah martabat yang tak terhingga yang berasal dari kebaikan yang tak
terhingga pula, yakni Allah. Secara teologis, Mariologi Katolik Roma tidak
hanya membahas kehidupannya saja, namun juga membahas berbagai penghormatan
kepadanya dalam kehidupan sehari-hari, doa-doa, serta kesenian, musik dan
arsitektur yang bertemakan Maria dalam kehidupan Kristiani.
Mariologi Katolik Roma masih dan
terus-menerus dibentuk tidak hanya oleh ensiklik kepausan
tapi juga oleh hal-hal lain yang saling memengaruhi mulai dari tulisan-tulisan
para orang-orang suci gereja hingga berbagai pembangunan gereja-gereja agung
yang didedikasikan untuk Maria di lokasi-lokasi penampakannya pada anak-anak di
pegunungan terpencil yang diterima sensus fidelium(berdasarkan keimanan
bersama). Di beberapa kasus, sensus fidelium kadang-kadang
memengaruhi keputusan-keputusan kepausan mengenai Maria, melengkapi Mariologi
dengan komponen “teologi rakyat” yang membedakannya dari komponen-komponen
teologi formal lainnya. Dalam hal kepopuleran dilihat dari jumlah pengikut,
keanggotaan di dalam gerakan dan perkumpulan yang berorientasi pada Maria
tumbuh dengan jumlah yang sangat berarti pada abad ke-20.
A. Sifat Dasar Mariologi Katolik
Mariologi tak dapat dipisahkan dari Kristologi
Mariologi Katolik adalah sebuah
konsekwensi logis dan penting dari Kristologi: Yesus dan Maria adalah anak dan ibu, Sang
Penebus Dosa dan Yang Ditebus Dosanya. Mariologi adalah Kristologi yang
dikembangkan hingga ke potensi yang sepenuhnya. Maria dan putranya Yesus sangatlah mirip namun tidak
kembar identik dalam teologi Katolik. Oleh karena itu, ajaran-ajaran
tentang Maria, disamping
turut memberikan sumbangan ke dalam pengajaran mengenai Kristus, juga adalah
ajaran yang terpisah yang disebut Mariologi.
Maria mengembangkan pengertian yang
lebih mendalam mengenai siapa Kristus itu dan
apa yang dilakukan-Nya. Kristologi tanpa Maria adalah suatu hal yang salah
menurut pandangan Gereja Katolik Roma, karena teologi tersebut berarti tidak didasarkan pada
wahyu Kitab Suci yang penuh. Umat Kristiani pada masa-masa awal dan banyak
orang-orang suci memusatkan diri pada interpretasi paralel ini. Para paus
menyoroti hubungan intim antara dogma-dogma mengenai Maria dan penerimaan penuh
dari dogma Kristologi.
Gereja adalah kumpulan umat Allah
karena dirinya adalah Tubuh Kristus. Gereja hidup dalam hubungannya dengan
Kristus. Sebagai Tubuh Kristus, Gereja juga memiliki hubungan dengan ibu-Nya,
yang menjadi topik utama dari Mariologi Katolik. Maria dipandang sebagai citra
asli Gereja, atau, seperti yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, “Bunda Gereja”.
Mariologi terus-menerus berkembang,
termasuk di dalamnya berbagai dogma, tradisi, posisi teologis resmi dan
hipotesis mengenai Maria, baik yang ada saat ini maupun yang telah menjadi
sejarah. Namun, Mariologi bukan saja sebuah bidang teologi yang dipelajari oleh
sedikit cendekiawan, namun sebuah konsep devosi yang dianut oleh jutaan umat
Katolik yang menghormati Sang Perawan Suci Maria. Dan, seperti yang didiskusikan
di bawah ini, bidang teologi ini berbeda dengan bidang-bidang lain dalam
teologi dalam hal bahwa perkembangan bidang ini seringkali berasal dari gerakan
bawah, dari massa umat yang percaya, dan kadang-kadang berasal dari
pengalaman-pengalaman rohani anak-anak kecil dan sederhana di puncak gunung
terpencil, yang kemudian memengaruhi tingkatan atas Tahta Suci di Roma melalui sensus fidei.
Doktrin-doktrin Maria dalam Gereja Katolik Roma, termasuk keempat dogma yang dibahas dibawah ini, adalah
bagian utama dari Mariologi yang terdiri atas ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin
resmi mengenai hidup dan peran Maria, namun tidak mengikut-sertakan
pandangan-pandangan menyeluruh, konroversi dan aspek-aspek kebudayaan devosi
kepada Maria. Mariologi adalah bagian dari doktrin abstrak dan juga adalah
sebuah bagian yang penting dalam kehidupan gereja: doa-doa Maria, ziarah-ziarah
ke tempat-tempat suci Maria, devosi-devosi kepada Maria selama bulan Mei dan
Oktober, penampakan Maria, gelar-gelar Maria, dan hari-hari peringatan bagi
Maria diperjelas dalam artikel Sang Perawan Suci Maria. Oleh karena itu,
artikel mengenai Mariologi Katolik Roma ini menyajikan sebuah peninjauan mengenai
persoalan-persoalan pokok, perkembangan dan kontroversi gerakan eklesiologi
ini.
Dogma-dogma mengenai Maria
Dogma-dogma Gereja Katolik Roma mengenai Maria memiliki dua fungsi: menyajikan
ajaran-ajaran Gereja yang tidak dapat salah mengenai Maria dan hubungannya
dengan Yesus Kristus, dan memuji Maria serta memuji karya Allah pada diri Maria
melalui Maria sendiri. Semua dogma mengenai Maria mengajarkan tentang putranya
yang kudus dan menyoroti kekudusan Yesus Kristus. Saat ini terdapat empat dogma
mengenai Maria di antara banyak ajaran lain mengenai Sang Perawan Suci:
Nama
|
Definisi Magisterium Pertama
|
Isi Dogma
|
Keperawanan Selamanya
|
Simbol pembaptisan semenjak abad ketiga
|
'Keperawanan Maria Selamanya'
berarti Maria adalah seorang perawan sebelum, selama dan sesudah melahirkan.
|
Bunda Allah
|
Konsili Efesus (431)
|
Maria adalah benar-benar Bunda
Allah karena kesatuannya dengan Kristus, Putra Allah.
|
Pembuahan Suci
|
Paus Pius IX (1854)
|
Maria, pada saat dirinya
diciptakan, dijaga kesuciannya dari dosa asal.
|
Pengangkatan Tubuh ke Surga
|
Paus Pius XII (1950)
|
Maria, setelah menyelesaikan jalan
hidupnya di bumi, diangkat tubuh dan jiwanya ke keagungan surga.
|
B. Sejarah Mariologi
Gereja Awal
Sejarah Mariologi bisa ditelusuri
dari abad pertama. Umat Kristiani awal memusatkan penghormatan mereka pada
mulanya kepada para martir di sekitar mereka. Mengikuti hal ini, mereka melihat
adanya semacam jembatan antara penghormatan umat Kristiani yang lama dan yang
baru dalam diri Maria. Di abad ke-2, Santo Irenaeus dari Lyon
menjuluki Maria “Hawa Kedua” sebab melalui Maria dan kepasrahannya pada pilihan
Tuhan baginya, Tuhan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat pilihan Hawa
untuk memakan buah terlarang. Doa kepada Maria tertua yang tercatat , sub
tuum praesidium, diperkirakan berasal dari sekitar tahun 250.
Pada abad ke-5, Konsili Ekumenis Ketiga memperdebatkan pertanyaan apakah Maria layak digelari sebagai Theotokos dan
puncaknya menegaskan penggunaan gelar tersebut. Gereja-gereja yang
didedikasikan kepada Maria muncul di seluruh tanah Kristen saat itu, di
antaranya yang terkenal adalah Basilika Santa Maria Maggiore di Roma dan Hagia Sophia di Konstantinopel. Ajaran
mengenai Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga menyebar luas di dunia Kristen mulai
dari abad keenam dan selanjutnya. Hari peringatannya ditetapkan pada tanggal 15
Agustus baik di daerah Romawi Timur maupun Barat.
Abad Pertengahan hingga Masa Reformasi Protestan
Abad Pertengahan menyaksikan
pertumbuhan dan perkembangan Mariologi, serta membawa para pelaku devosi kepada
Maria yang setia ke permukaan, termasuk di antaranya Ephraim orang Syria,
Yohanes Damascene dan Bernard dari Clairvaux. Doa-doa kepada Maria seperti Ave
Maria serta kidung-kidung seperti Ave Maris Stella dan Salve Regina lahir,
menjadi nyanyian-nyanyian utama di biara. Praktek-praktik devosi jumlahnya
bertambah pesat. Dari tahun 1000 dan selanjutnya semakin banyak gereja,
termasuk banyak katedral-katedral agung Eropa, didedikasikan kepada Maria.
Satu kontroversi besar sepanjang
masa adalah konsep Pembuahan Suci. Walau konsep Maria yang tanpa dosa telah ditegaskan
dalam masa-masa awal gereja, kapan dan bagaimana tepatnya Maria menjadi bersih
tanpa dosa menjadi sebuah topik untuk perdebatan dan pertentangan. Secara
bertahap konsep bahwa Maria telah disucikan dari dosa asal pada saat Ia
diciptakan mulai diterima luas, terutama setelah Yohanes Duns Scotus menjawab
keberatan utama dari konsep kesucian Maria semenjak penciptaan, sebagai
kebutuhannya bagi penebusan dosa. Karya Allah dalam membuat Maria bersih
dari dosa semenjak penciptaannya adalah, menurutnya, mungkin bentuk penebusan
dosa yang paling sempurna.
Selama Reformasi Protestan, Mariologi Katolik Roma diterpa serangan tuduhan gencar
yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai sesuatu yang mencemarkan kesucian
dan ajaran takhyul. Para pemimpin Protestan seperti Martin Luther dan John Calvin, meski secara
pribadi taat pada kepercayaan Maria seperti kelahiran perawan dan kesuciannya,
menganggap penghormatan umat Katolik pada Maria sebagai tandingan terhadap
peran kudus Yesus Kristus.
Sebagai sebuah refleksi dari
penentangan teologis ini, karya-karya seni religius dan berbagai patung serta
lukisan Maria dihancurkan secara besar-besaran. Beberapa kaum reformis
Protestan, terutama Andreas Karlstadt, Huldrych Zwingli dan John Calvin
mendorong penghilangan gambaran-gambaran religius dengan merujuk pada
pelarangan Dekalog atas pemujaan berhala dan pembuatan patung-patung yang
menggambarkan Tuhan. Kerusuhan orang-orang yang menentang patung berhala yang
besar terjadi di Zurich (1523), Kopenhagen (1530), Münster (1534), Jenewa
(1535), Augsburg (1537) dan Skotlandia (1559).
Tujuh Belas Provinsi (sekarang Belanda, Belgia dan sebagianPerancis utara) mengalami
gelombang gerakan anti patung berhala yang besar pada musim panas tahun
1566. Konsili Trente menegaskan mengenai tradisi Katolik akan keberadaan
lukisan-lukisan dan karya-karya seni di dalam gereja, yang menyebabkan
perkembangan karya-karya seni mengenai Maria dan Mariologi yang luar biasa
selama masa Barok.
Masa Barok hingga Masa Pencerahan
Selama masa Reformasi Protestan, Gereja Katolik mempertahankan Mariologi terhadap
serangan kaum Protestan sementara juga bertempur dalam Perang Ottoman
di Eropa melawan Turki yang dilakukan dan dimenangkan
di bawah perlindungan Sang Perawan Maria. Kemenangan di Perang Lepanto (1571)
diakui sebagai karya Maria “dan menandai dimulainya kebangkitan kembali yang
kuat atas devosi-devosi kepada Maria”.
Karya-karya tulis masa Barok
mengenai Maria menyaksikan perkembangan yang tidak disangka sebelumnya dengan
lebih dari 500 halaman tulisan Mariologi selama abad ke-17 saja. Francis
Suarez, seorang Yesuit, adalah teolog pertama yang menggunakan metode Thomist
untuk Mariologi. Penulis-penulis lainnya yang memberikan sumbangan pada
Mariologi masa Barok adalah Lawrence dari Brindisi, Robert Bellarmine, dan Fransiskus dari Sales.
Mariologi masa Barok didukung oleh beberapa
paus: Paus Paulus V dan Paus Gregorius XV memutuskan pada tahun 1671 dan 1622 bahwa pernyataan yang
menyebutkan Sang Perawan Maria diciptakan dengan dosa asal tidak bisa
diterima. Paus Aleksander VII menyatakan pada tahun 1661 bahwa jiwa Maria
terbebas dari dosa asal. Paus Klemens XI memerintahkan
perayaan Immaculata bagi seluruh gereja pada tahun 1708. Perayaan Rosario
diperkenalkan pada tahun 1716, perayaan Tujuh Duka Maria diperkenalkan tahun
1727. Doa Angelus didukung dengan kuat oleh Paus Benediktus XIII pada tahun
1724 dan oleh Paus Benediktus XIV pada tahun 1742.
Penekanan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan rasionalisme di Masa Pencerahan membuat
teologi Katolik dan Mariologi untuk banyak melakukan pembelaan diri. Konsep
keperawanan dan rahmat-rahmat khusus masih ditaati, namun pemujaan terhadap
Maria dijauhi. Beberapa teolog mengusulkan penghapusan semua hari perayaan
bagi Maria, kecuali hari-hari yang memiliki dasar-dasar Kitab Suci dan hari
raya Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga.
Banyak kaum Benediktin seperti
Celestino Sforndrati (wafat 1696) dan Yesuit, didukung oleh para umat yang
taat dan perkumpulan pro-Maria mereka, berdiri melawan gerakan anti-Maria ini.
Namun dengan adanya sekularisasi, yang berarti penutupan paksa banyak biara,
ziarah-ziarah untuk Maria tidak berlanjut atau jumlahnya sangat jauh berkurang.
Doa Rosario dikritik dari dalam lingkungan Katolik sendiri sebagai sesuatu yang
tidak memusatkan pada Yesus dan terlalu mekanis. Di beberapa tempat bahkan
pernah dilarang untuk berdoa rosario selama Misa Kudus.
Selama masa ini pendukung Mariologi
merujuk pada “Kemuliaan Maria” dan beberapa tulisan Mariologi lainnya
karya Alfonsus dari Liguori, seorang Italia, yang kebudayaannya
tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh gerakan Pencerahan. “Secara keseluruhan,
Mariologi Katolik selama Masa Pencerahan kehilangan perkembangan utama dan
nilai tingginya, namun dasar-dasarnya berhasil dipertahankan dimana menjadi
dasar bagi Abad ke-19 untuk kembali membangunnya”.
Abad ke-19
Mariologi pada abad ke-19 didominasi
oleh pembahasan Pembuahan Suci dan Konsili Vatikan Pertama. Baru pada tahun 1854 Paus Pius IX, dengan
dukungan yang luar biasa dari para Uskup Katolik Roma yang ia ajak
berkonsultasi antara tahun 1851-1853, meresmikan dogma Pembuahan Suci.
Delapan tahun sebelumnya, pada tahun
1846, Sri Paus mengabulkan permintaan penuh dari para uskup Amerika Serikat dan
menyatakan bahwa Immaculata sebagai pelindung Amerika Serikat. Selama Konsili Vatikan Pertama, 108 imam peserta konsili meminta
agar ditambahkan kata-kata “Perawan Suci” ke dalam doa “Salam
Maria”. Beberapa imam meminta agar dogma Pembuahan Suci dimasukkan ke
dalam kredo Gereja.
Banyak umat Katolik Perancis mengharapkan
dijadikannya dogma terhadap konsep Infalibilitas kepausan dan Pengangkatan Tubuh Maria
ke Surga di dalam konsili ekumenis yang selanjutnya. Selama Konsili Vatikan Pertama sembilan petisi Mariologi
mendukung sebuah kemungkinan dogma atas Pengangkatan Maria, yang sayangnya
ditentang secara tegas oleh beberapa peserta konsili, terutama yang berasal
dari Jerman. Pada tanggal
8 Mei para peserta konsili menolak pembuatan dogma akan konsep tersebut, sebuah
keputusan yang didukung oleh Paus Pius IX. Konsep Maria
sebagai ko-redemptrix juga sempat didiskusikan namun dibiarkan terbuka. Sebagai
dukungannya, para peserta konsili menyoroti kudusnya keibuan Maria dan
menganugerahinya dengan gelar Ibu Segala Rahmat.
Paus Rosario Leo XIII adalah sebuah
gelar yang diberikan kepada Paus Leo XIII (1878-1903)
karena ia menciptakan sebuah rekor dengan mengeluarkan sebelas ensiklik
kepausan mengenai doa rosario, meresmikan kebiasaan Katolik untuk berdoa
rosario tiap hari selama bulan Oktober, yang dibuat pada tahun 1883 pada hari
perayaan Ratu Rosario Suci.
C. Pandangan Para Orang Suci
Mariologi Katolik Roma bertumpu pada
tulisan banyak orang suci sepanjang sejarah yang telah mencoba membuktikan
kebenaran peran utama Maria dalam rencana keselamatan Tuhan. Orang-orang suci
yang memiliki orientasi Mariologi antara lain Santo Irenaeus dari
Lyons, Santo Ambrosius dari Milan, Santo Bernardus dari Clairvoux,
Santo Thomas Aquinas, Santo Yohanes dari Damaskus, Santo Bonaventura,
Santo Louis de Montfort dan yang lainnya. Dalam beberapa kasus
tulisan-tulisan para orang suci seperti Santo Louis de Montfort sangat memengaruhi calon-calon imam seperti Karol Wojtyla yang
nantinya menjadi Paus Yohanes Paulus II.
Orang-orang Suci Awal
Santo Irenaeus dari
Lyons (hidup sekitar tahun 140-202) mungkin adalah Bapa Gereja pertama yang
mengembangkan konsep Mariologi yang lengkap. Di masa mudanya ia pernah bertemu
dengan Santo Polikarpus dan orang-orang Kristen lainnya yang pernah
berhubungan langsung dengan para Rasul. Irenaeus mengemukakan
secara gamblang nilai peranan Maria dalam proses penyelamatan manusia.
Menurut Irenaeus, Kristus, yang terlahir
dari Sang Perawan Maria, menciptakan sebuah situasi bersejarah yang
baru. Pandangan ini kemudian memengaruhi Santo Ambrosius dari Milan dan Santo Tertulianus yang
menulis mengenai kelahiran perawan yang dialami oleh Bunda Allah. Sang pemberi
kelahiran baru haruslah dilahirkan dalam sebuah cara baru. Kelahiran baru
sebagai sesuatu yang hilang akibat seorang wanita (Hawa) kini diselamatkan oleh
seorang wanita (Maria).
Santo Ambrosius dari
Milan (339-397) adalah seorang Bapa Gereja pertama yang konsep Mariologi yang kuatnya
memengaruhi paus-paus yang hidup di zamannya sepertiPaus Damasus, Paus Siricius dan Paus Leo Agung. Muridnya
Santo Agustinus dari Hippo dan Konsili Efesus sama-sama
berada di bawah pengaruhnya. Hal pokok dalam diri Santo Ambrosius adalah
keperawanan Maria dan perannya sebagai Bunda Allah.
“Oleh sebab itu Maria, daripadanya
keselamatan sedang disiapkan bagi semua manusia, akan menjadi yang pertama yang
menerima buah keselamatan yang dijanjikan.”
Santo Agustinus dari Hippo (354-430) tidak mengembangkan
sebuah Mariologi sendiri, namun pernyataan-pernyataannya tentang Maria
melampaui jumlah dan dalamnya tulisan-tulisan penulis lainnya di
zamannya. Sang Perawan Maria “diciptakan sebagai perawan, melahirkan sebagai
perawan dan menjadi perawan selamanya”. Bahkan sebelum Konsili Efesus ia
membela konsep Sang Perawan Maria sebagai Bunda Allah yang, karena
keperawanannya, dipenuhi rahmat Allah. Maria terbebas dari segala bentuk
dosa duniawi. Oleh karena seorang wanita
seluruh umat manusia terselamatkan.
Patriark Cyril dari Aleksandria
(412-444) menjadi terkenal dalam sejarah Gereja karena perjuangannya yang penuh
semangat demi gelar “Bunda Allah” selama masa Konsili Efesus (431).
Tulisan-tulisannya meliputi homili yang diberikannya di Efesus dan beberapa
khotbah lainnya. Beberapa homili yang dipercaya diberikan olehnya
dipermasalahkan siapa penulis sesungguhnya. Dalam beberapa tulisan Cyril
menyoroti cinta Yesus pada ibu-Nya. Sewaktu di kayu salib, Ia mengatasi rasa
sakitnya dengan memikirkan ibu-Nya. Di perkawinan di Kana Yesus tunduk pada
permnintaan Maria. Jasa terbesar Cyril dari Aleksandria adalah dikokohkannya
intisari ajaran-menjurus-dogma Mariologi untuk sepanjang masa. Ia menciptakan
dasar bagi semua perkembangan Mariologi lainnya melalui ajarannya mengenai Sang
Perawan Maria sebagai Bunda Allah.
Banyak konsep-konsep Mariologi pada
abad-abad pertama dikembangkan oleh gereja-gereja Ritus Timur. Dari
barat, Paus Damasus I dan yang lainnya membela Maria terhadap serangan
paham Monofisitisme yang mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat
dasar, yaitu ketuhanan. Oleh karenanya Maria hanya adalah Bunda Allah dan bukan
ibu dari Yesus yang manusia. Paus Leo Agung mempertahankan
ajaran bahwa Kristus memiliki dua sifat dasar, yakni sifat ketuhanan dan sifat
manusia.
Bagi Paus Leo Agung, Mariologi
ditentukan oleh Kristologi. Jika Kristus hanyalah bersifat ketuhanan saja,
segala sesuatu mengenai-Nya bersifat ketuhanan. Makanannya hanyalah sebuah
simbolisme belaka. Hanya diri Yesus yang bersifat ketuhanan saja yang telah
disalib, dimakamkan dan dibangkitkan. Maria hanyalah Bunda Allah dan para
pengikut Kristus tidak akan memiliki harapan akan kebangkitan diri mereka
sendiri. Dan intisari Kekristenan hancur lebur. Paus Leo Agung meminta
pemberian penghormatan kepada Sang Perawan Maria baik di palungan maupun di
tahta Bapa di surga. Peristiwa dimulainya sebuah kehidupan manusia melalui
Maria yang paling luar biasa terjadi saat melahirkan Yesus, Putra Allah dan
Putra dari garis keturunan Raja Daud.
Para Orang Suci semenjak Abad Pertengahan
Dalam ensikliknya Doctor
Mellifluus mengenai Santo Bernardus dari Clairvoux, Paus Pius XII mengutip
tiga elemen pokok dari Mariologi Santo Bernardus: bagaimana ia menjelaskan
keperawanan Maria, Sang Bintang Laut; bagaimana para umat seharusnya berdoa
bagi Sang Perawan Maria, dan bagaimana Santo Bernardus menyandarkan diri pada
Sang Perawan Maria sebagai mediatrix (perantara).
“… Sang Perawan melahirkan putra-Nya
tanpa adanya noda pada integritasnya. Dan sebagaimana cahaya tidak mengurangi
kecemerlangan sebuah bintang, demikian pula lahirnya Sang Putra dari rahimnya
tidak menodai kecantikan keperawanan Maria.”
“Dalam bahaya, dalam keragu-raguan,
dalam kesulitan, ingatlah akan Maria, panggillah Maria. Jangan biarkan nama-Nya
meninggalkan bibirmu, jangan membiarkannya meninggalkan hatimu.”
Secara teologis, Santo Bernardus
dari Clairvaux, seorang Doktor Gereja, adalah seorang pendukung kuat
interpretasi mediatrix dalam diri Maria. Tuhan dan dunia fana bertemu di dalam
dirinya. Kehidupan kudus mengalir melalui dirinya ke seluruh penciptaan. Maria
adalah satu dengan Yesus yang ingin menyelamatkan semua manusia dan yang
menebarkan semua rahmat melalui dirinya. Maria adalah Sang Perantara ke
Tuhan, sebuah tangga yang bisa digunakan oleh para pendosa untuk mendaki
mendekati-Nya, jalan megah menuju Tuhan, karena dirinya penuh rahmat.
“Adalah kehendak Tuhan sendiri bahwa
kita tidak memiliki apa-apa yang tidak melalui tangan-tangan Maria. Adalah
kehendak Tuhan sendiri yang membuat kita memiliki segala sesuatunya melalui
tangan-tangan Maria.”
Santo Alfonsus dari Liguori (1696-1787), seorang Doktor
Gereja menulis “Kejayaan Maria”, “Devosi-devosi kepada Maria”, “Doa-doa kepada
Bunda Ketuhanan”, “Lagu-lagu Spiritual”, “Kunjungan ke Sakramen Suci dan Sang
Perawan Maria”, “Sang Pendamping Sejati Yesus Kristus” dan lainnya. Ia
memberikan pengaruh yang luar biasa pada Mariologi selama Masa Pencerahan.
Entusiasmenya yang menyala-nyala sangat bertolak belakang dengan dinginnya
paham rasionalisme dari Masa Pencerahan. Dengan kebanyakan di antaranya adalah
tulisan-tulisan kepastoran, Mariologi Santo Alfonsus dari Liguori menemukan kembali,
mengintegrasi dan mempertahankan Mariologi SantoAgustinus dari Hippo, Santo Ambrosius dan
Bapa-bapa Gereja lainnya, dan mewakili pembelaan intelektual Mariologi pada
abad ke-18.
Santo Louis de Montfort adalah seorang pembela Mariologi melawan paham Jansenisme yang
efektif, dimana tulisannya “Devosi Sejati kepada Maria” menyatukan banyak
tulisan dan ajaran para orang suci mengenai Maria sebelumnya. Pendekatan
Montfort “penyucian menyeluruh kepada Yesus Kristus melalui
Maria” memiliki sebuah pengaruh yang kuat bagi devosi Maria baik di
kegiatan-kegiatan masyarakat umum maupun di dalam spiritualitas para ordo/tarekat/organisasi
rohani. Salah satu pengikutnya yang terkenal adalah Paus Yohanes Paulus II. Menurut surat
apostolik-nya Rosarium Virginis Mariae, motto pribadi Sri Paus “Totus Tuus” terinspirasi
oleh doktrin Santo Louis de Montfortmengenai keunggulan devosi kepada Maria dan penyucian menyeluruh, dimana
ia mengutip:
“Semenjak Maria adalah yang paling
selaras dengan Yesus Kristus dibandingkan semua makhluk lainnya, maka di antara
semua devosi yang ada yang paling menyucikan dan menyelaraskan sebuah jiwa
dengan Tuhan adalah devosi kepada Maria, ibu-nya yang suci, dan bahwa semakin
banyak sebuah jiwa disucikan kepada Maria, semakin banyak pula jiwa tersebut
disucikan kepada Yesus Kristus.”
Dalam sebuah amanat kepada para imam
Montfortian, Sri Paus juga mengatakan bahwa membaca karya tulis “Devosi Sejati
kepada Maria” adalah sebuah titik balik sangat penting dalam hidupnya.
D. Mariologi sebagai Teologi Rakyat
Tidak seperti kebanyakan teologi
Katolik Roma yang berasal dari tingkatan atas Gereja, Mariologi seringkali
berasal dari bawah oleh puluhan juta umat Katolik dengan sebuah devosi khusus
kepada Sang Perawan Suci. Dalam beberapa kasus penting, devosi-devosi ini tidak
dimulai dengan keputusan yang dikeluarkan di Roma, namun malah berasal dari
pengalaman-pengalaman rohani (dan pengelihatan) individu-individu yang lugu dan
sederhana (kebanyakan adalah anak-anak) yang terjadi di puncak gunung yang
terpencil yang dalam beberapa waktu kemudian menciptakan emosi yang kuat di
tengah-tengah umat Katolik yang sangat besar jumlahnya. Reaksi kuat di
tengah-tengah umat Katolik ini kemudian memengaruhi tingkatan atas hierarki Gereja
Katolik Roma.
Sebuah contoh bagus dari hal ini
adalah kasus Santo Juan Diego yang ketika sebagai anak muda pada tahun 1531
melaporkan sebuah penampakan Santa Perawan Maria pada suatu subuh dimana ia
diperintahkan untuk membangun sebuah gereja di Bukit Tepeyac di Meksiko. Imam kepala
lokal tidak percaya pada ceritanya dan, sebagai bukti, ia meminta sebuah
peristiwa ajaib. Permintaanya ini kemudian dipenuhi dengan hadirnya gambaran
Ratu Guadalupe Kami yang secara permanen tercetak di mantel Juan Diego yang
dikenakannya saat mengumpulkan bunga mawar.
Secara keseluruhan, Juan Diego tidak
menerima banyak perhatian dari Roma selama era tahun 1530-an semenjak pihak
gereja di Roma sedang sibuk menghadapi tantangan gerakan Reformasi Protestan
antara tahun 1521 hingga tahun 1579. Walau demikian, pada saat banyak orang
meninggalkan Gereja Katolik Roma di Eropa sebagai hasil dari gerakan Reformasi
Protestan, berita penampakan Sang Perawan Maria dari Juan Diego merupakan unsur
yang penting dalam menambah hampir delapan juta orang umat Katolik di Benua
Amerika antara tahun 1532 hingga tahun 1538. Pada akhirnya dengan puluhan juta
pengikut, Juan Diego memengaruhi Mariologi di benua Amerika dan di tempat
lainnya, dan dinyatakan sebagai “Yang Patut Dimuliakan” oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1987.
Kekuatan Mariologi lainnya pada
tahun-tahun belakangan ini adalah penyebaran devosi-devosi kepada Maria seperti
Rosario Suci melalui berbagai organisasi orang awam Katolik. Abad ke-20
nenyaksikan pertumbuhan yang pesat dalam jumlah organisasi sukarela yang
melakukan devosi kepada Maria seperti kelompok-kelompok pembagi rosario gratis.
Salah satu contohnya adalah organisasi Pembuat Rosario Ratu Kami yang dibentuk
dari uang donasi sebesar 25 dolar untuk membeli sebuah mesin tik pada tahun
1949. Saat ini organisasi tersebut memiliki ribuan sukarelawan/ti yang telah
membagikan jutaan rosario gratis kepada misi-misi Katolik di seluruh dunia. Perkembangan
devosi-devosi kepada Maria ini kemudian membangun sensus fidelium yang
nantinya memengaruhi arah perkembangan Mariologi secara keseluruhan.
Pengaruh Penampakan
Santo Juan Diego bukanlah
satu-satunya anak muda yang melaporkan pengelihatan pada suatu subuh di sebuah
puncak bukit dimana seorang wanita agung menampakkan diri dan meminta agar
sebuah gereja dibangun di atas bukit tersebut. Pengelihatannya akan Ratu Guadalupe
Kami di banyak aspek sama dengan kasus laporan pengelihatan Santa Bernadette
Soubirous akan Ratu Lourdes Kami pada tahun 1858. Kedua orang suci ini
melaporkan seorang wanita agung penuh keajaiban di sebuah bukit yang
memerintahkan mereka untuk meminta para imam lokal untuk membangun sebuah kapel
di tempat terjadinya pengelihatan. Kedua pengelihatanan ini sama-sama memiliki
rujukan pada bunga mawar dan menyebabkan dibangunnya gereja-gereja agung di
lokasi-lokasi tersebut. Seperti juga Ratu Guadalupe Kami di Meksiko, Ratu Lourdes
Kami adalah sebuah simbol penting Katolik di Perancis.
Sebagai seorang gadis petani
sederhana berusia 14 tahun yang tidak memiliki pendidikan formal yang berarti,
Santa Bernadette Soubirous melaporkan pengelihatannya akas seorang wanita
berpakaian putih yang berkata "Que soy L’Immaculado
concepciou" (Akulah Buah Tubuh Tanpa Noda) dan meminta agar sebuah
gereja dibangun di sana. Diolok-olok, diinterogasi dan dianggap remeh oleh
pejabat-pejabat gereja dan orang-orang pada zaman itu, ia tetap memegang teguh
cerita pengelihatannya. Akhirnya Gereja pun percaya padanya dan ia dikanonisasi
oleh Paus Pius XI pada tahun 1933.[48] Dalam
beberapa waktu kemudian, banyak gereja dibangun di atas bukit tersebut (salah
satunya adalah Basilika Santo Paus Pius X yang mampu menampung 25.000 orang di
dalamnya). Lourdes saat ini adalah salah satu lokasi ziarah Maria yang penting.
Di dalam wilayah Perancis, hanya Paris yang memiliki jumlah hotel
lebih banyak daripada Lourdes.
Tiga anak Portugal, Lucia dos
Santos, Jacinta Marto dan Francisco Marto sama-sama muda dan tak memiliki latar
belakang pendidikan yang banyak ketika mereka melaporkan penampakan Ratu Fatima
Kami pada tahun 1917. Seorang pejabat lokal mulanya menjebloskan anak-anak tersebut
ke penjara dan mengancam akan merebus satu per satu dari mereka ke dalam kuali
minyak. Anak-anak tersebut dihibur oleh para narapidana lainnya di dalam
penjara, dan kemudian belakangan anak-anak ini memimpin para narapidana untuk
berdoa rosario.
Akhirnya, dengan jutaan pengikut dan
umat Katolik yang mempercayainya, laporan penampakan di Fatima menuai rasa
hormat banyak pihak, dan Paus Pius XII, Paus Yohanes XXIII, Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II menyuarakan penerimaan mereka
akan asal usul peristiwa Fatima yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Bahkan Paus Yohanes Paulus II memberikan penghargaan pada Ratu Fatima Kami atas
keselamatan hidupnya menyusul percobaan pembunuhan atas dirinya pada hari
perayaan Ratu Fatima Kami pada tahun 1981. Ia menyumbangkan peluru yang melukai
dirinya hari itu kepada tempat suci Katolik Roma di Fatima, Portugal. Setelah
melalui sebuah penyelidikan gereja, peristiwa penampakan di Fatima dinyatakan
sebagai suatu peristiwa yang “berharga untuk dipercaya” pada bulan Oktober 1930
oleh uskup dari Leiris-Fatima.
Kaum Mariologis merujuk pada Santa
Marguerite Marie Alacoque sebagai “bukti hidup bagaimana devosi kepada Maria
berkaitan dengan Kristologi” dan dengan adorasi pada Yesus Kristus. Ia
mengucapkan kaul pada usia 14 tahun untuk mengabdikan hidupnya bagi Sang
Perawan Maria dan, sebagai seorang rohaniwati pengikut Maria, mengalami banyak
cobaan-cobaan untuk membuktikan ketulusan pengabdiannya dan pengelihatannya
akan Yesus dan Maria yang berhubungan dengan Hati Kudus. Pada mulanya ceritanya
ditolak dengan keras oleh ibu kepala biaranya dan kemudian dirinya tidak mampu
untuk meyakinkan para teolog atas kebenaran pengelihatannya. Salah satu
pengecualian penting adalah Santo Claude de la Colombiere yang mendukungnya.
Devosi kepada Hati Kudus secara resmi diterima 75 tahun setelah
kematiannya. Walaupun pengelihatannya akan Yesus dan Maria pada mulanya
tidak dipercaya oleh Gereja, kemenangannya yang akhirnya berhasil diraih
dikumandangkan ke seluruh dunia ketika dalam ensiklik-nya Miserentissimus
Redemptor Paus Pius XI menyatakan bahwa Yesus Kristus telah
“menyatakan diri-Nya” kepada Santa Margareta dan merujuk pada pembicaraan
antara Yesus dan Santa Margareta beberapa kali.
Mariette Beco masih berusia dua
belas tahun ketika ia melaporkan penampakan Maria pada tahun 1933 di
Banneux, Belgia. Dalam kasus ini, Wanita berbaju Putih diceritakan
menyatakan dirinya sebagai Sang Perawan dari Yang Papa dan berkata: “Percayalah
padaku dan aku akan percaya padamu”. Pada tahun 1942 Tahta Suci mengijinkan
uskup lokal untuk memperbolehkan pemberian penghormatan kepada Sang Perawan
dari Yang Papa.
Pengaruh pada Gereja Katolik Roma
Walaupun orang-orang di atas dan
banyak orang lainnya menghadapi banyak permasalahan awalnya, pihak gereja,
dengan penundaan beberapa waktu, memperhatikan iman Mariologi, seperti yang
diakui di dalam situs resmi Vatikan pada
tahun 2004. Oleh karenanya, “dogma mengenai Pembuahan Suci yang dipaparkan
oleh Paus Pius IX sebagian besar tidak lahir dari bukti-bukti di
dalam Kitab Suci atau tradisi kuno, tapi lahir dari sebuah sensus fidelium yang
mendalam, sebuah pendirian para umat yang telah bertahan lama dan
Magisterium”. Dalam hal ini, Vatikan mengutip Fulgens
Corona dimana Paus Pius XII mendukung
keyakinan ini:
Apabila pujian-pujian terkenal bagi
Sang Perawan Suci Maria diberikan pemikiran yang sepantasnya, siapa yang berani
meragukan bahwa Ia, yang lebih suci dari para malaikat dan selalu suci di
segala waktu, pernah, bahkan dalam waktu yang sesingkat apapun, tidak
terbebaskan dari noda dosa?”
Dalam beberapa ajaran tentang Maria,
“teologi rakyat” seperti Pembuahan Suci, pendirian para umat yang tegas dan
bertahan lama mendahului teologi akademis. Argumen yang sama juga dibuat
bagi dogma Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga oleh Paus Pius XII. Bagi
orang-orang non-Katolik dan bahkan bagi beberapa orang Katolik yang
berorientasi teologis, seperti Karl Rahner, sensus fidei ini bukanlah sesuatu
yang tanpa masalah.
Walaupun demikian, Mariologi yang
dikenal luas telah menjadi sebuah kekuatan pendorong dalam masa 150 tahun
terakhir bagi lahirnya dua dogma infalibilitas ex cathedra: Pembuahan
Suci pada tahun 1854 dan Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga pada tahun 1950.
Memang, semenjak deklarasi resmi mengenai Infalibilitas kepausan oleh Konsili Vatikan I pada tahun 1870, deklarasi tahun 1950 oleh Paus Pius XII adalah
yang pertama dan satu-satunya yang menggunakan Infalibilitas kepausan.
E. Mariologi di Abad ke-20
Mariologi pada abad ke-20 didominasi
oleh sebuah antusiasme akan Maria yang tulus yang berpuncak dalam lahirnya
dogma Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga oleh Paus Pius XII dan Konsili Vatikan II menyatakan Maria sebagai Bunda Gereja. Seribu lima
ratus tahun setelah Konsili Efesus, Paus Pius XI mengeluarkan
ensiklik Lux Veritatis, mengingatkan umat Kristen Ortodoks tentang iman
yang sama. Ia memimpin sebuah kongres Mariologi pada tahun 1931.
Paus Pius XII
Paus Pius XII mempersembahkan
Rusia kepada Hati Kudus Maria. Ia menetapkan perayaan ini bagi seluruh gereja
pada tahun 1944. Pada tahun 1950 Paus Pius XII menegaskan
bahwa Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga sebagai sebuah bagian dari iman Katolik
Roma. Ini adalah penggunaan kekuasaan ex cathedra dalam Infalibilitas kepausan semenjak Konsili Vatikan I. Pada tahun 1950 dan tahun 1958 ia memberikan kuasa kepada berbagai
institusi untuk peningkatan penelitian akademis mengenai penghormatan kepada
Sang Perawan Suci Maria. Pada tahun 1953, Paus Pius XII menetapkan
tahun 1954 sebagai Tahun Maria, yang pertama di dalam sejarah gereja. Tahun itu
dipenuhi dengan berbagai inisiatif kegiatan bagi Maria, di bidang-bidang
Mariologi, acara-acara kebudayaan, amal dan pertemuan-pertemuan sosial.
Dalam ensiklik-nya Fulgens
Corona dan Ad Caeli Reginam ia memaparkan sebuah sintesis
Mariologi gereja dan memperingatkan akan iman Katolik yang berlebih-lebihan dan
yang penuh keragu-raguan. Pada tahun 1953 Paus Pius XII memperkenalkan
perayaan Keratuan Maria. Di beberapa ensiklik dan surat apostolik kepada
masyarakat Polandia dan beberapa negara lainnya yang berada di balik
tirai besi, ia mengungkapkan kepastian bahwa Sang Perawan Suci Maria akan
menang atas musuh-musuhnya.[62] Paus Pius XII mengkanonisasi
beberapa orang yang memiliki iman dan spiritualitas yang kuat kepada Maria
(kadang-kadang juga mengalami penampakan), seperti Louis de Montfort, Peter
Chanel, Jeanne de Lestonnac, Paus Pius X, Catherine
Laboure, Anthony Mary Claret dan Gemma Galgani.
Konsili Vatikan Kedua
Konsili Vatikan Kedua (1962-1965) mengeluarkan
ringkasan gereja mengenai doktrin Katolik tentang Maria di bab
delapan Lumen Gentium. Ahli-ahli Mariologi sebelumnya berharap akan
lahirnya sebuah dogma tentang Maria sebagai Mediatrix (perantara), dimana
dasar-dasar untuk status ini telah diletakkan oleh beberapa paus terutama Paus Leo XIII, Paus Pius X, Paus Benediktus XV dan Paus Pius XII. Hal ini
dianggap sebagai sebuah “hal yang jelas”. Berbagai persiapan bagi konsili ini
meliputi sebuah skema bebas berjudul “Mengenai Sang Perawan Suci Maria, Bunda
Allah dan Bunda Manusia”. Beberapa pengamat menginterpretasikan penolakan
terhadap dokumen Maria ini sebagai hal minimalisme; yang lain
menginterpretasikannya penyertaan Maria sebagai sebuah bab di dalam dokumen
gereja sebagai sesuatu yang menegaskan perannya bagi Gereja.
Bab tentang maria ini memiliki lima
bagian yang menghubungkan Maria pada misteri-misteri penyelamatan yang
berlangsung di dalam Gereja, yang didirikan oleh Kristus sebagai tubuh
mistis-Nya. Peran Maria dalam hubungannya dengan putra-Nya diletakkan sebagai sesuatu
yang bukan paling penting. Yang disoroti adalah kepribadian dan kepenuhan
rahmatnya. Bagian kedua menggambarkan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan.
Perannya sebagai seorang mediator diperinci karena Maria dianggap memastikan
keselamatan kita melalui banyak perantaraannya setelah pengangkatan dirinya ke
surga. Konsili menolak untuk memakai gelar mediator bagi semua rahmat, dan
hanya menetapkan Maria sebagai mediator tanpa penjelasan lebih lanjut.
F. Mediatrix dan Co-Redemptrix
Konsep-konsep Mariologi mediatrix
(perantara) dan co-redemptrix (pendamping penebus) sangatlah berbeda antara
satu dengan yang lain. Keduanya belum ditegaskan sebagai dogma oleh Gereja,
namun dukungan umum dan dukungan dari lingkungan gereja bagi keduanya terus
tumbuh besar akhir-akhir ini. Konsep-konsep ini telah digunakan di dalam
berbagai ensiklik kepausan dan didukung oleh banyak teolog, mulai dari buku
“Penderitaan Maria” karya Romo Frederick William Faber pada abad ke-19, hingga
tokoh Mariologi (dan penasehat Tahta Suci) abad ke-20 yang sangat dihormati,
Romo Gabriel Roschini.
Definisi dogma bagi konsep-konsep
ini diajukan pada Konsili Vatikan II oleh uskup-uskup Italia, Spanyol dan Polandia namun
tidak dibahas, dan masih ada penentangan terhadap konsep-konsep ini di dalam
lingkaran Vatikan.
Pada awal tahun 1990-an lebih dari
enam juta tanda tangan dikumpulkan dari 148 negara, termasuk juga tanda tangan
dari Bunda Teresadari Kalkuta, Kardinal John
O’Connor dari New York, dan 41 kardinal serta 550 uskup lainnya, mendesak Paus Yohanes Paulus II untuk menggunakan Infalibilitas kepausan untuk menetapkan Maria sebagai
Perantara dan Pendamping Penebus. Pada tanggal 8 Februari 2008, lima Kardinal
Katolik Roma mengeluarkan sebuah petisi meminta Paus Benediktus XVI untuk secara dogmatis menetapkan Sang Perawan Suci
Maria sebagai Sang Perantara dan Sang Pendamping Penebus. Dan sebuah gerakan
umat awam bernama Vox Populi Mariae Mediatrici menyediakan berbagai
petisi yang bisa ditanda-tangani oleh umat Katolik Roma yang tersebar dimana-mana
dan yang bisa dikirimkan ke Sri Paus sebagai dukungan atas sebuah ketetapan
dogmatis akan kedua konsep tersebut.
Mediatrix
Konsep Mediatrix (Perantara)
memiliki dua makna: Maria melahirkan sang penebus, yang adalah sumber dari
semua rahmat. Oleh karena itu Maria berpartisipasi dalam memerantarai rahmat.
Opini kedua menyatakan bahwa Maria, yang diangkat ke surga, ikut serta dalam
memerantarai rahmat kudus putra-Nya. Para paus seperti Paus Leo XIII hingga Paus Pius XII mendukung
kedua interpretasi tersebut.
Santo Thomas Aquinas menyatakan
bahwa hanya Kristus yang dapat menjadi perantara sempurna antara Tuhan dan
manusia. Namun hal ini tidak menghapuskan fakta bahwa ada pihak-pihak lain yang
dipanggil sebagai perantara sebab mereka membantu dan menyiapkan persatuan
dantara Tuhan dan manusia. Tidak ada pertanyaan di antara para teolog
Katolik bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan umat
manusia (Tim 2:5). Namun hal ini tetap tidak meniadakan peran serta Maria dalam
memerantarai misteri putra-Nya.
Di abad ke-19, mediatrix muncul di
dalam bulla kepausan Ineffabilis Deus karya Paus Pius IX dan di
dalam beberapa ensiklik mengenai rosario dari Paus Leo XIII. Paus Pius X menggunakannya
di dalam ensiklik Ad Diem Illum dan Paus Benediktus XV memperkenalkannya dalam hari perayaan Maria yang
disebut Maria Sang Perantara Semua Rahmat (1921). Para paus biasanya
menggunakan ensiklik-ensiklik dan hari perayaan untuk mempromosikan ajaran
Kristen. Hari perayaan Maria Sang Perantara Penuh Rahmat dianggap sebagai
sebuah tanda yang jelas bahwa Paus Benediktus XV berniat untuk mempromosikan peran Maria sebagai
perantara.
Oleh karena itu ada sebuah
perantaraan: Maria menempatkan dirinya antara putra-Nya dan manusia di dalam
kenyataan keinginan, kebutuhan dan penderitaan mereka. Ia menempatkan dirinya
“di tengah-tengah”, atau dengan kata lain ia bertindak sebagai perantara dan
bukan sebagai orang luar namun di dalam posisinya sebagai seorang ibu. Ia tahu
dengan demikian ia bisa menunjukkan kepada putra-Nya segala kebutuhan umat
manusia, dan nyatanya, ia “memiliki hak” untuk melakukannya. Jadi,
perantaraan-Nya adalah dalam bentuk memohon untuk pihak lain: Maria memohon
demi umat manusia.
Co-Redemptrix
Konsep Co-Redemptrix (Pendamping
Penebus Dosa) merujuk pada peran serta Maria yang tidak langsung atau tidak
sejajar namun penting dalam proses penebusan dosa. Ia memperkenankan dirinya
tanpa paksaan untuk melahirkan sang penebus dosa, untuk berbagi dalam
hidup-Nya, untuk menderita bersama-Nya di kaki salib dan untuk mengurbankan
putra-Nya demi penebusan dosa umat manusia.
Konsep Pendamping Penebus Dosa
bukanlah sesuatu yang baru. Irenaeus, Bapa Gereja
(wafat tahun 200) telah merujuk Maria sebagai “causa salutis” (penyebab
keselamatan kita) berdasarkan “fiat”-nya." Hal ini adalah sebuah
ajaran yang telah ditelaah semenjak abad ke-15 namun belum pernah dipertegas
menjadi sebuah dogma. Pandangan Katolik Roma mengenai co-redemptrix tidak
menunjukkan bahwa Maria ikut serta sebagai bagian yang sama tingginya dalam
penebusan dosa umat manusia semenjak Kristus adalah satu-satunya penebus
dosa. Maria sendiri membutuhkan penebusan dosa dan ditebus dosanya oleh
Yesus Kristus putra-Nya. Dengan ditebus dosanya oleh Kristus berati Maria tidak
bisa menjadi bagian yang sama tingginya dengan Yesus Kristus dalam proses
penebusan dosa manusia.
Ajaran kepausan mulai menyebutkan
aspek ini di dalam dokumen-dokumen Gereja resmi selama masa kepausan Paus Pius X. Santo
Pius menyatakan dalam ensikliknya Ad Diem Illum: “Akan terlihat nanti
bahwa kita masih jauh dari menggelari Bunda Allah sebagai kuasa rahmat yang
produktif – kuasa yang menjadi milik Tuhan saja. Namun semenjak Maria membawa
kuasa di dalam kesucian dan persatuan dengan Yesus Kristus, dan telah
dihubungkan dengan Yesus Kristus dalam karya penebusan dosa, Maria berjasa bagi
kita de congruo, dalam bahasa para teolog, sebagaimana Yesus berjasa bagi
kita de condigno. Dan Maria adalah wakil tertinggi dalam penyebaran rahmat
Tuhan”. Para teolog memiliki perbedaan pendapat apakah yang dimaksud oleh
Sri Paus di sini merujuk pada co-redemptrix atau pada mediatrix dari semua
rahmat.
Paus Benediktus XV pertama kali memaparkan istilah ini sesuai dengan
kekuasaannya dalam surat apostolik-nya, Inter Soldalica, yang dikeluarkan
pada tanggal 22 Maret 1918. “Sebagaimana Sang Perawan Suci Maria tidak
terlihat ikut serta dalam kehidupan publik Yesus Kristus, dan kemudian
tiba-tiba muncul di kaki salib-Nya, ia tidak berada di sana tanpa kehendak
Allah. Ia menderita bersama dukanya dan kematian putranya, hampir seakan-akan
ia sendiri yang meninggal dunia. Demi keselamatan umat manusia, ia menyerahkan
haknya sebagai ibu putranya dan mengurbankannya untuk rekonsiliasi dengan
keadilan Allah sejauh yang ia diperbolehkan untuk melakukannya. Oleh karena
itu, seseorang bisa mengatakan Maria menebus dosa bersama Kristus yang
manusia.”
Paus Pius XII mengulangi
penjelasan ini dengan sedikit nada yang berbeda di dalam
ensikliknya Mystici Corporis (1943): “Adalah Maria, Hawa kedua, yang
bersih dari segala dosa, baik dosa asal maupun dosa pribadi, dan yang selalu
bersatu secara lebih mendalam dengan Putranya, yang mempersembahkan Yesus di
Golgota kepada Allah Bapa bagi semua anak-anak Adam, yang ternoda dosa akibat
jatuhnya Adam ke dalam dosa, termasuk mempersembahkan haknya sebagai ibu dan
cintanya sebagai ibu sebagai kurban persembahan.” Dalam bulla kepausan Munificentissimus
Deus mengenai dogma tentang Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga, Paus Pius XII menyatakan
bahwa “Bunda Allah yang terhormat, dari semua keabadian bergabung di dalam
sebuah jalan tersembunyi bersama Yesus Kristus dalam sebuah takdir yang sama,
tanpa noda dalam penciptaannya, seorang perawan yang paling sempurna dalam
keibuannya yang kudus sebagai rekan yang mulia dari Sang Penebus Dosa yang
ilahi.”
Implikasi Ekumene
Beberapa ahli Mariologi terkemuka
menyatakan secara terbuka sebuah opini bahwa di dalam usaha persatuan di antara
umat Kristen yang benar, kepercayaan-keperacayaan dan devosi-devosi mengenai
Maria mungkin diperkecil skalanya oleh wakil-wakil Gereja Katolik Roma, mulai dengan dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium: Kardinal Leo
Scheffczyk mengeluarakn pernyataan mengenai bab tentang Maria: “dingin dan
terselubungnya dokumen ini bisa dijelaskan, sebagaimana hal ini telah diakui
secara terbuka, untuk menunjukkan pertimbangan bagi dialog-dialog ekumene
terutama dengan umat Protestan. Kesuksesan metode yang bisa diterima ini
harusnya tidak dibesar-besarkan. Dan hal ini tidak menghentikan teologi itu
sendiri”. Ia tidak setuju dengan mereka yang menganggap dokumen tersebut
sebagai sesuatu yang tidak memuaskan kaum konservatif, liberal, Ortodoks dan
Protestan, sembari menyatakan bahwa dokumen tersebut memiliki elemen-elemen
yang bisa dilihat dengan mudah demi menjembatani berbagai posisi mengenai
Mariologi --- sebuah jembatan yang ia simpulkan belum sukses sejauh
ini. Menurut sang kardinal, “Pernyataan-pernyataan dasar yang penting
(mengenai Maria) adalah kompromi-kompromi yang mengurangi kekayaan iman yang
ada dan mengundang interpretasi-interpretasi yang justru memecah, seperti
tuduhan bahwa Konsili menghapuskan ajaran-ajaran mediatrix”.
G. Bunda Gereja
Pada awal Konsili Vatikan II, Paus Yohanes XXIII mengubah judul asli usulan skema konsili dari
“Mengenai Perawan Suci Maria, Bunda Tuhan dan Bunda Manusia” menjadi “Mengenai
Perawan Suci Maria, Bunda Gereja”. Akan tetapi gelar baru ini ditentang
oleh para imam yang ikut Konsili karena banyak di antara mereka menganggap
gelar ini terlalu inovatif. Semenjak Konsili menolak untuk membahas dokumen dan
gelar Maria, Paus Paulus VI mengumumkan gelar tersebut pada penutupan tahap
ketiga Konsili benar-benar sendirian. Sebagai mantan Uskup Agung Milan, ia
tahu bahwa pendahulunya yang terkenal, Santo Ambrosius dari
Milan (338-397) pernah menggunakan bahasa yang sama, menjuluki Maria sebagai
“Teladan Gereja” berdasarkan iman, cinta dan persatuannya yang penuh dengan
Kristus, dan sebagai “Bunda Gereja” karena ia yang melahirkan Kristus.
Paus Yohanes Paulus II
Gelar tua ini diumumkan kembali
oleh Paus Paulus VI di Konsili Vatikan II. Pada tahun 1987 Paus Yohanes Paulus II mengulangi penggunaan gelar
ini, “Bunda Gereja”, dalam ensikliknya Redemptoris Mater dan di depan
masyarakat umum pada tanggal 17 September 1997. Ensikliknya adalah sebuah
rangkuman yang panjang lebar dan jelas mengenai Mariologi modern yang
melahirkan beberapa hal baru: Menurut Paus Yohanes Paulus II, Sang Bunda Penebus memiliki sebuah
tempat yang jelas dalam rencana penyelamatan manusia,
Gereja mengajarkan bahwa Maria hadir
pada ujung sejarah penyelamatan sebelum Kristus.
Apabila salam dan nama “penuh
rahmat” menjelaskan semuanya, dalam konteks penyampaian kabar oleh sang
malaikat, maka salam dan nama ini pertama-tama merujuk pada pemilihan Maria
sebagai Bunda Putra Allah. Tapi juga pada saat yang sama “kepenuhan rahmat”
menunjukkan semua kemurahan-hati mistis yang daripadanya Maria terima karena
terpilih dan ditakdirkan untuk menjadi Bunda Kristus. Apabila pemilihan ini
sangat penting bagi pencapaian rencana penyelamatan Tuhan bagi umat manusia,
dan apabila pilihan abadi dalam Kristus dan tugas untuk tetap menjaga kemuliaan
anak-anak angkat adalah takdir setiap orang, maka pemilihan Maria adalah
seluruhnya luar biasa dan unik, demikian juga keistimewaan dan keunikan
tempatnya dalam misteri Kristus.
Di dalam perjalanan gereja atau
perjalanan rohani menembus ruang dan waktu, serta, terlebih lagi, melalui
perjalan sejarah roh manusia, inilah Maria hadir sebagai seseorang yang
“terberkati karena ia percaya”, sebagai seseorang yang terdepan dalam
perjalanan rohani dari iman manusia, yang memiliki bagian dalam misteri Kristus
yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Paus Benediktus XVI
Paus Benediktus XVI menjelaskan topik ini, mengapa Mariologi memiliki
hubungan dengan eklesiologi atau ilmu gerejawi. Sekilas, ia mengatakan, bahwa
hubungan ini terlihat terjadi secara kebetulan: bahwa Konsili memasukkan
Mariologi ke dalam eklesiologi. Hubungan ini membantu pengertian apa
sesungguhnya “Gereja” itu.
Teolog Hugo Rahner menunjukkan bahwa
Mariologi aslinya adalah eklesiologi. Gereja itu seperti Maria. Gereja itu
seorang perawan dan seorang ibu. Ia bersih tanpa noda dan memikul beban
sejarah. Ia menderita dan ia diangkat ke surga. Secara perlahan ia belajar
bahwa Maria adalah cerminannya; bahwa Gereja menjadi manusia dalam diri Maria.
Maria di lain pihak bukanlah seseorang yang terkucilkan, yang hanya bersandar
pada dirinya sendiri. Maria mengandung misteri Gereja.
Paus Benediktus XVI menyesali kenyataan bahwa persatuan Gereja dan
Maria ditutup-tutupi pada abad-abad belakangan, yang sangat membebani Maria
dengan berbagai keistimewaan dan memindahkan Maria ke tempat yang jauh. Baik
Mariologi maupun eklesiologi menderita akibat situasi ini. Pandangan Mariologi
atas Gereja dan pandangan eklesiologi atas Maria di dalam sejarah penyelamatan
manusia langsung tertuju pada Kristus. Kesatuan Gereja dan Maria menjelaskan
apa arti dari kesucian dan arti dari “Tuhan menjadi manusia”.
H. Pusat Penelitian Mariologi
Penelitian resmi tentang Mariologi
di dalam lingkungan yang berhubungan dengan Tahta Suci mengalami
suatu kemajuan besar dalam Tahun Suci tahun 1950 dan dalam tahun 1958 akibat
keputusan-keputusan Paus Pius XII yang
mengijinkan berbagai institusi untuk meningkatkan penelitian akademis tentang
penghormatan terhadap Perawan Suci Maria.
Academia Mariana Salesiana. Paus
Pius XII mengabulkan pendirian Academia Mariana Salesiana yang merupakan suatu
bagian dari perguruan tinggi kepausan. Akademi ini mendukung
penelitian-penelitian kaum Salesian dengan tujuan untuk mengembangkan
penghormatan kepada Sang Perawan Suci dalam tradisi Santo Yohanes Bosco.
Centro Mariano Montfortano. Juga
pada tahun 1950, Centro Mariano Montfortano dipindahkan dari Bergamo ke Roma.
Centro menyebar-luaskan ajaran-ajaran Santo Louis de Montfort yang sebelumnya
dikanonisasi oleh Paus Pius XII. Institusi ini menerbitkan bulanan Madre e
Regina yang menyebar-luaskan orientasi Maria dari Montfort.
Marianum dibentuk pada tahun
1950 dan pengoperasiannya dipercayakan kepada Ordo Servites. Institusi ini
diberikan kuasa untuk menganugerahi semua gelar akademis termasuk sebuah gelar
doktor di bidang teologi. Semenjak tahun 1976, Marianum mengadakan konferensi
internasional setiap dua tahun untuk menemukan perumusan baru yang mengukur
misteri Maria.
Collegamento Mariano
Nazionale (1958) adalah prakarsa mengenai Maria terakhir dari Paus Pius
XII. Institusi ini mengkoordinasi semua aktivitas institusi-institusi yang
berorientasi pada Maria di Italia, menyelenggarakan ziarah-ziarah
yang berorientasi pada Maria dan menyelenggarakan minggu-minggu pembahasan
Maria bagi para imam. Selain itu, institusi ini juga memulai penyelenggaraan pertemuan-pertemuan
pemuda-pemudi Maria dan menebitkan Jurnal “Madonna”.
Dari semua organisasi ini, Marianum
adalah pusat Mariologi yang paling aktif di Roma. Institusi Katolik kepausan ini
didirikan oleh Romo Gabriel Roschini (yang kemudian mengepalainya selama
beberapa tahun) di bawah arahan dari Paus Pius XII pada
tahun 1950. Di Marianum, seseorang bisa memperoleh gelar strata dua di bidang
Mariologi (program akademis dua tahun) dan seseorang juga bisa memperoleh gelar
doktor di bidang Mariologi. Fasilitas Mariologi ini memiliki sebuah
perpustakaan berisi 85.000 jilid mengenai Mariologi, serta sejumlah majalah dan
jurnal teologi dan yang berhubungan dengan Mariologi. Marianum juga
merupakan nama dari jurnal teologi Mariologi yang bergengsi, yang sebelumnya
diterbitkan oleh Romo Roschini pada tahun 1939.
Pada tahun 1975, Universitas Dayton
di Ohio, Amerika Serikat, mendirikan
International Marian Research Institute (Institut Internasional untuk
Penelitian Maria) yang berafiliasi dengan Marianum untuk menawarkan gelar
doctorate in sacred theology (S.T.D.: Doktor Teologi Suci) dan diploma di
bidang teologi suci (S.T.L.: Sacred Theology Licentiate).
FILE ASLI
No comments:
Post a Comment